Sebuah besi tua menggelantung di Sekepat [1],
cukup memukulkannya dengan sebuah besi maka ia dirubah menjadi sebuah bel.
Beberapa anak yang tadinya sedang asyik mengerumuni pedagang makanan kecil
mulai berhamburan dan berkumpul di depan sebuah bangunan yang mirip dengan
bangunan PNPM milik pemerintah setempat. Beberapa diantaranya mengenakan
seragam merah putih. Aku yang kala itu tengah menyelesaikan tugas akhir
perkuliahan di minta oleh pihak Desa untuk mengajar di Madrasah yang baru tiga
tahun berdiri. Perjalanan yang aku tempuh hanya memakan waktu 15 menit dari
Posko kami, kami melwwati sebuah perbukitan , jalanan yang tak beraspalpun kami
tempuh. Setiba di Madrasaha itu, aku merasa ada yang mengganjal, tak Nampak
jika tempat ini merupakan sekolah,taka da papan nama sekolah, tak ada bangunan,
tak ada halaman, tak ada perpustakaan, bahkan tak ada jejeran bangku yang rapi.
“Selamat Pagi anak-anak, apa kabar kalian hari ini ?.” Sapa
Ibu Novi Satu-satunya Guru yang ada di MI ini. Novi adalah Guru yang hanya
tamatan SMA , ia mengabdi di MI sejak pak Amin mendirikannya. Jika Novi tidak
bisa mengisi pelajaran atau berhalangan
maka proses belajar mengajar akan terhenti. sebelumnya madrasah ini memeiliki
lima oran Guru akan tetapi beberapa diantaranya memilih untuk berhenti
mengajar, dan sisanya adalah Novi, Novi
harus menghandle tiga kelas yakni kelas satu yang berjumlah dua orang, kelas
dua yang berjumlah empat orang dan kelas tiga yang berjumlah lima orang.
“Hari ini kita akan belajar bahasa indonesia.”
pelajaran kali ini adalah bahasa Indonesia, walupun sudah
kelas tiga diantara kami berlima ada yang masih belum bisa membaca, alasan Guru
menaikkan kelas adalah karena anaknya rajin masuk sekolah.
taka da buku pelajaran yang bisa kami baca, semua yang
diajarkan hanya diketahui oleh sang
Guru, ingin rasanya aku seperti anak-anak yang lain, bisa keluar-masuk
perpustakaan, memiliki teman yang banyak. Pernah suatu ketika aku ingin pindah
sekolah tapi kedua orang tuaku melarang keras niat tersebut.
“Ayah, aku ingin pindah sekolah. Aku ingin seperti sekolah
ditempat yang bagus, punya banyak teman, punya perpustakaan.” pintaku pada
suatu malam, seusai shalat isya’.
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kamu itu anak perempuan
sebaiknya sekolahnya disitu saja, dekat dan juga masih bisa diawasi.”
“Tapi pak,….”
“Sudahlah Nak, bapak mau istirahat, jangan tambah beban
fikiran bapak.”
aku hanya bisa terdiam ketika keinginanku harus terbentang
oleh keinginan kedua oarng tuaku.
@@@@@
bukan tanpa usaha pak Amin, biaya pembangunan yang
dianggarkan hanya cukup untuk membiayai pondasi sekoalh saja, pondasi tersebut
terdiri dar tiga ruang kelas, satu ruang Guru dan juga ruang Kepala sekolah.
Pak Amin merasa perihatin dengan kondisi peserta didik yang hanya belajar di
emperan teras rumah warga tanpa alas, dan siswa belajar dilantai tanpa meja
maupun kursi, miris memang. pengajuan Proposalpun disodorkan dibeberapa pihak,
baik dari instansi-instansi maupun dari pihak wiraswasta, akan tetapi hasilnya
nihil. pernah suatu ketika pak Amin merencakan untuk membubarkan Madrasah ini
akan tetapi pihak wali murid merasa keberatan jika harus memindahkan anak
mereka, menurutnya jika dibubarkan maka anak-anak mereka akan keluar Dusun dan
berjalan cukup jauh, akhirnya pak Amin mempertahan segala keterbatasan yang
ada.
Pak Amin melihat perkembangan Raya yang begitu pesat, ia
melihat sebagai anak yang cerdas, mudah mengerti dan juga rajin belajar.
Walaupun ia berasal dari keluarga yang tidak mampu akan tetapi semangatnya
untuk bersekolah sangatlah tinggi, ia selalu datang tepat waktu. Pernah suatu
ketika Pak Amin bertanya kepada Raya, mengenai cita-citanya.
“Raya, kalau kamu sudah besar nanti kamu mau jadi apa nak ?”
“Raya pengen jadi Orang Kaya pak ?”
“Kenapa Nak ?”
“Biar Raya bisa bangun sekolah dengan bangunan yang tinggi
dan bisa menyekolahkan teman-teman dan Raya mau mereka menjadi Guru, biar
Madrasah ini banyak Gurunya Pak.”
seketika pak Amin menangis tersedu-sedu, ia merasakan
bagaiman penderitaan siswanya, ia merasa tak mampu berbuat banyak kepada
Madrasah yang ia bangun sendiri.
“Bapak, kenapa menangis”
“Tidak apa-apa Nak, nanti Raya pasti jadi orang kaya. kalau
raya mau jadi orang kaya raya harus rajin belajar, patuh sama orang tua, patuh
sama Guru-Gurunya dan juga ingat jangan lupa shalat Nak.”
“Ia Pak.”
“Tuhan aku hanya ingin bersekolah, aku tak ingin putus
sekolah. Aku yakin jika Tuhan yang jauh disana mendengarkan do’a raya. Tuhan
Raya janji jika nanti jadi orang cerdas raya pengen bangun sekolah yang tinggi.
Raya janji Tuhan”. Amin
sepenggal do’a Raya, Raya di Tibu Baru
[1]
sejenis saung yang banyak dimiliki oleh masyarakat suku sasaq yang dipergunakan
sebagai sarana untuk menerima tamu, tempat berkumpul dssb
0 komentar:
Posting Komentar