Searching...
Kamis, 06 November 2014

Raya di Tibu Baru (Cerpen)

(Norma Yunita)
Sebuah besi tua menggelantung di Sekepat [1], cukup memukulkannya dengan sebuah besi maka ia dirubah menjadi sebuah bel. Beberapa anak yang tadinya sedang asyik mengerumuni pedagang makanan kecil mulai berhamburan dan berkumpul di depan sebuah bangunan yang mirip dengan bangunan PNPM milik pemerintah setempat. Beberapa diantaranya mengenakan seragam merah putih. Aku yang kala itu tengah menyelesaikan tugas akhir perkuliahan di minta oleh pihak Desa untuk mengajar di Madrasah yang baru tiga tahun berdiri. Perjalanan yang aku tempuh hanya memakan waktu 15 menit dari Posko kami, kami melwwati sebuah perbukitan , jalanan yang tak beraspalpun kami tempuh. Setiba di Madrasaha itu, aku merasa ada yang mengganjal, tak Nampak jika tempat ini merupakan sekolah,taka da papan nama sekolah, tak ada bangunan, tak ada halaman, tak ada perpustakaan, bahkan tak ada jejeran bangku yang rapi.
“Selamat Pagi anak-anak, apa kabar kalian hari ini ?.” Sapa Ibu Novi Satu-satunya Guru yang ada di MI ini. Novi adalah Guru yang hanya tamatan SMA , ia mengabdi di MI sejak pak Amin mendirikannya. Jika Novi tidak bisa  mengisi pelajaran atau berhalangan maka proses belajar mengajar akan terhenti. sebelumnya madrasah ini memeiliki lima oran Guru akan tetapi beberapa diantaranya memilih untuk berhenti mengajar, dan  sisanya adalah Novi, Novi harus menghandle tiga kelas yakni kelas satu yang berjumlah dua orang, kelas dua yang berjumlah empat orang dan kelas tiga yang berjumlah lima orang.
“Hari ini kita akan belajar bahasa indonesia.”
pelajaran kali ini adalah bahasa Indonesia, walupun sudah kelas tiga diantara kami berlima ada yang masih belum bisa membaca, alasan Guru menaikkan kelas adalah karena anaknya rajin masuk sekolah.
taka da buku pelajaran yang bisa kami baca, semua yang diajarkan hanya diketahui oleh sang  Guru, ingin rasanya aku seperti anak-anak yang lain, bisa keluar-masuk perpustakaan, memiliki teman yang banyak. Pernah suatu ketika aku ingin pindah sekolah tapi kedua orang tuaku melarang keras niat tersebut.
“Ayah, aku ingin pindah sekolah. Aku ingin seperti sekolah ditempat yang bagus, punya banyak teman, punya perpustakaan.” pintaku pada suatu malam, seusai shalat isya’.
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kamu itu anak perempuan sebaiknya sekolahnya disitu saja, dekat dan juga masih bisa diawasi.”
“Tapi pak,….”
“Sudahlah Nak, bapak mau istirahat, jangan tambah beban fikiran bapak.”
aku hanya bisa terdiam ketika keinginanku harus terbentang oleh keinginan kedua oarng tuaku.
@@@@@
bukan tanpa usaha pak Amin, biaya pembangunan yang dianggarkan hanya cukup untuk membiayai pondasi sekoalh saja, pondasi tersebut terdiri dar tiga ruang kelas, satu ruang Guru dan juga ruang Kepala sekolah. Pak Amin merasa perihatin dengan kondisi peserta didik yang hanya belajar di emperan teras rumah warga tanpa alas, dan siswa belajar dilantai tanpa meja maupun kursi, miris memang. pengajuan Proposalpun disodorkan dibeberapa pihak, baik dari instansi-instansi maupun dari pihak wiraswasta, akan tetapi hasilnya nihil. pernah suatu ketika pak Amin merencakan untuk membubarkan Madrasah ini akan tetapi pihak wali murid merasa keberatan jika harus memindahkan anak mereka, menurutnya jika dibubarkan maka anak-anak mereka akan keluar Dusun dan berjalan cukup jauh, akhirnya pak Amin mempertahan segala keterbatasan yang ada.
Pak Amin melihat perkembangan Raya yang begitu pesat, ia melihat sebagai anak yang cerdas, mudah mengerti dan juga rajin belajar. Walaupun ia berasal dari keluarga yang tidak mampu akan tetapi semangatnya untuk bersekolah sangatlah tinggi, ia selalu datang tepat waktu. Pernah suatu ketika Pak Amin bertanya kepada Raya, mengenai cita-citanya.
“Raya, kalau kamu sudah besar nanti kamu mau jadi apa nak ?”
“Raya pengen jadi Orang Kaya pak ?”
“Kenapa Nak ?”
“Biar Raya bisa bangun sekolah dengan bangunan yang tinggi dan bisa menyekolahkan teman-teman dan Raya mau mereka menjadi Guru, biar Madrasah ini banyak Gurunya Pak.”
seketika pak Amin menangis tersedu-sedu, ia merasakan bagaiman penderitaan siswanya, ia merasa tak mampu berbuat banyak kepada Madrasah yang ia bangun sendiri.
“Bapak, kenapa menangis”
“Tidak apa-apa Nak, nanti Raya pasti jadi orang kaya. kalau raya mau jadi orang kaya raya harus rajin belajar, patuh sama orang tua, patuh sama Guru-Gurunya dan juga ingat jangan lupa shalat Nak.”
“Ia Pak.”
“Tuhan aku hanya ingin bersekolah, aku tak ingin putus sekolah. Aku yakin jika Tuhan yang jauh disana mendengarkan do’a raya. Tuhan Raya janji jika nanti jadi orang cerdas raya pengen bangun sekolah yang tinggi. Raya janji Tuhan”.  Amin
sepenggal do’a Raya, Raya di Tibu Baru




[1] sejenis saung yang banyak dimiliki oleh masyarakat suku sasaq yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerima tamu, tempat berkumpul dssb

0 komentar:

Posting Komentar

 
Back to top!